Selasa, 22 Juni 2010

Perjalanan ke Masjid Kalipasir Tangerang


Masjid Kalipasir didirikan pada tahun 1700 oleh Tumenggung Pamit Wijaya yang berasal dari Kahuripan Bogor. Pada tahun 1712 kepengurusan masjid dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Raden Bagus Uning Wiradilaga. Tahun 1740 dilanjutkan oleh keturunan berikutnya, yakni Tumenggung Aria Ramdhon.

Kepengurusan masjid berikutnya tetap dipegang secara turun temurun. Tahun 1780, Sutadilaga menjadi pengurus baru, yang dilantik pada tanggal 16 Februari 1802. Di masa Sutadilaga inilah mulai adanya prosesi pelantikan kepengurusan secara resmi. Berturut-turut kemudian pada tanggal 14 Februari 1827 Iddar Dilaga dilantik sebagai pengurus yang dilanjutkan kemudian oleh puterinya yang bernama Nyi Raden Jamrud pada tahun 1865.

Untuk melengkapi bangunan masjid, pada tahun 1904 didirikan sebuah menara di sebelah utara bangunan utama oleh Raden Yaasin Yudhanegara.

Pada tahun 1918, Raden Yaasin dan beberapa pengurus masjid lainnya, yakni Haji Abdul Kadir Banjar dan Haji Muhidi merenovasi tampilan menara lama. Renovasi berikutnya yang diketuai oleh H. Moh. Toha bin H. Muhidi dengan anggota Hasbullah Kadir, Nyi Guru Murhafiah, H.M. Badri, Raden Abdul Syukur Yaasin menyepakati untuk merenovasi kembali tampilan menara. Pengerjaan renovasi mulai dilaksanakan pada tanggal 24 April 1959 dan rampung pada bulan Agustus 1961. Atap menara yang diganti sampai sekarang masih tersimpan di rumah H. Ankagiri Yaasin yang merupakan keturunan ke-3 dari Nyi Raden Jamrud. Tahun 2000 menara masjid direnovasi kembali, diketuai oleh H. Syahrozi ketua DKM Kalipasir.

Pondasi Masjid Kalipasir sekilas tidak tampak tinggi. Tetapi apabila dilihat dari sebelah timur masjid ada tiga buah terap anak tangga dengan tinggi sekitar 30 cm. Ruang utama shalat berbentuk empat persegi dilapisi keramik berwarna putih. Di dalam ruang utama ini terdapat empat buah tiang utama (soko guru) yang menopang atap utama dengan empat buah umpak berbentuk segi enam. Tiang-tiang ini sekarang dipagari masingmasing dengan 3 buah besi berbentuk silinder berwarna kuning yang dimaksudkan untuk melindungi tiang kayu yang sudah mulai rusak.

Di sisi utara, selatan, dan timur terdapat ruangan semacam serambi. Serambi selatan dan timur tertutup. Antara ruang utama dengan serambi ini dibatasi oleh pintu berbentuk lengkungan yang masing-masing pintu diapit oleh tiang. Antara ruang utama dengan serambi utara dibatasi oleh dinding tinggi dengan sebuah pintu masuk dan dua buah jendela, sementara antara jalan lingkungan dan serambi utara diberi pagar tembok dengan pintu tanpa daun pintu dan jendela berbentuk lengkung tanpa daun jendela.

Pada dinding timur terdapat sebuah jendela dengan lubang angin pada bagian atasnya dan sebuah pintu berbentuk persegi empat dengan dua buah daun pintu. Di atas pintu terdapat hiasan berupa pelipit. Pada dinding sisi barat terdapat mihrab yang di kiri dan kanannya diapit oleh dua pilaster (tiang semu), dan empat buah jendela berbentuk lengkung. Pada dinding selatan yang membatasi jalan lingkungan dengan serambi selatan terdapat sebuah pintu dengan lubang angin di atasnya. Dinding ini mempunyai lima buah jendela berukuran kecil. Dinding barat tidak mempunyai pintu. Dinding ini memiliki dua buah jendela berukuran sama. Mihrab terdapat pada dinding ini diapit oleh dua pilar semu. Dinding utara memisahkan ruang utama dengan serambi utara. Terdapat sebuah pintu dan sebuah jendela. Untuk kegiatan sehari-hari, pintu disebelah utara ini yang lebih sering digunakan karena letak tempat wudhu dan menara masjid berada di sebelah barat daya masjid ini. Atap Masjid Kalipasir memiliki atap utama berbentuk piramid, dan atap bagian terluarnya seperti atap rumah pada umumnya.

Masjid Kalipasir terletak di Kampung Kalipasir RT 02/RW 04 No. 18, Kelurahan Sukasari Kota Tangerang, Provinsi Banten. Di sebelah Barat Masjid terdapat Komplek Pemakaman Kalipasir yang berpagar kawat. Sejak berdirinya masjid ini memang di desain memiliki tanah pemakaman di sebelah baratnya. Di seberang makam mengalir Sungai Cisadane yang melintasi kawasan Tangerang dan sekitarnya. Sisi utara, selatan dan timur masjid berbatasan dengan pemukiman penduduk karena memang Masjid Kalipasir ini berlokasi di tengah-tengah perkampungan penduduk yang cukup padat.
Last Updated ( Friday, 22 January 2010 )

Perjalanan Ke Masjid Merah Panjunan






Mumpung masih ada di area Cirebon, sekalian jalan-jalan mengunjungi majid Merah Panjunan.dengan mengendarai sepeda tua BATAVUS,untuk area di dalam masjid yang masih asli ditutup untuk umum. Dan di buka menjelang sholat Idul Fitri. Jadi kepingin Sholat ied di sini nh.....
Nh ada sedikit sejarahnya.....
Masjid Merah Panjunan didirikan oleh salah satu putra Sultan Bagdad, yaitu Syarif Abdurrahman. Masjid yang didirikan pada tahun 1480 M ini, pada awalnya bernama al-Athyah yang berarti yang dikasihi. Pendirian Masjid Merah Panjunan lebih disebabkan oleh karena belum adanya Masjid Agung di wilayah Caruban selain sebuah tajug sederhana, yaitu Masjid Pejlagrahan yang sampai saat ini juga masih ada.

Selain itu, dapat dilihat juga adanya beberapa alasan lain yang melatarbelakangi pendirian Masjid Merah Panjunan. Fungsi politis juga ikut mewarnai pembangunan Masjid Merah Panjunan selain fungsi praktis tersebut di atas. Fungsi ekonomis dari pembangunan Masjid Merah Panjunan dapat dilihat dari keberadaannya di wilayah yang merupakan sentra produksi dan pemasaran gerabah, karena pada saat itu masjid merupakan tempat khalayak ramai berkumpul. Bahkan fungsi ini kemudian juga mempengaruhi nama wilayah sekaligus nama masjid ini yaitu Panjunan.

Wilayah Panjunan dan sekitarnya menjadi sentra perdagangan dalam wilayah Cirebon, kota perdagangan pantai yang sangat ramai saat itu, sehingga penduduknya berasal dari berbagai macam suku bangsa. Berangkat dari asumsi bahwa masjid sebagai bangunan publik sehingga menjadi cerminan kebudayaan publik yang memilikinya dan realitas dari wujud fisik bangunan Masjid Merah Panjunan memperlihatkan adanya perpaduan budaya dan agama masyarakatnya dalam wujud akulturasi.

Proses akulturasi di Indonesia sudah terjadi semenjak masa pra-Islam, yaitu Budha dan Hindu. Agama Hindu datang ke Indonesia dibawa oleh bangsa India. Setelah kedatangan agama Hindu dan Budha ke Indonesia, datanglah agama Islam. Agama-agama tersebut kemudian bertemu dan mengadakan kontak secara terus-menerus. Akhirnya terjadilah akulturasi antara kedua agama tersebut.

Wujud akulturasi tersebut dapat dilihat dari adanya unsur-unsur budaya yang ada pada arsitektur Masjid Merah Panjunan. Jika menggunakan agama dan asal sebagai agen pengaruh budaya maka unsur-unsur akulturasi tersebut adalah sebagai berikut.

1. Unsur budaya Islam; Selain jelas dari wujud fisik dan fungsi praktis dari masjid ini yaitu sebagai bangunan peribadatan umat Islam, maka dapat dilihat lebih terperinci juga unsur-unsur khas yang berasal dari pengaruh Islam. Unsur budaya Islam dapat kita lihat pada mimbar, mihrab, tempat wudlu, dan beberapa ragam hias kaligrafi yang terlihat di tiang dan blandar.
2. Unsur budaya Jawa; Unsur budaya Jawa masih sangat terlihat dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan ini yaitu dari jenis bangunannya yang jelas menggunakan arsitektur Jawa yaitu tajug dan limasan. Selain itu juga dapat dilihat dari pola konstruksi dan susunan arsitekturalnya.
3. Unsur budaya Cina; Pengaruh dari Cina juga ditemukan pada Masjid Merah Panjunan ini yang dapat dilihat dari penggunaan beberapa keramik produksi Cina untuk hiasan tempel, dan penggunaan bahan sirap seperti pada bangunan khas Cina.
4. Unsur budaya Hindu; Unsur budaya Hindu secara eksplisit tidak banyak dapat dilihat secara langsung pada wujud fisik bangunannya, tetapi jika dikaitkan dengan makna-makna filosofis dan simbol-simbol yang ada pada Masjid Merah Panjunan, masih dapat ditemukan adanya kelanjutan-kelanjutan pemakaian makna filosofis Hindu yang kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam.
5. Unsur budaya Eropa; Unsur budaya Eropa dalam arsitektur Masjid Merah Panjunan dapat kita lihat dengan jelas pada keramik-keramik produksi Eropa, khususnya Belanda. Unsur-unsur tersebut diatas, semuanya disusun dan diterapkan sedemikian rupa sesuai dengan selera estetika pada jamannya. Selera jaman yang saat itu juga sudah dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan orang-orang Eropa kemudian juga mempengaruhi estetika akulturatif di atas.

Senin, 21 Juni 2010

petilasan Ki Ageng Pesalakan




nah tempat ini merupakan tempat seorang penyebar agama islam. Namanya Ki Ageng Pesalakan.bertempat di Desa Watu Belah Kabupaten Cirebon. Kata paman saya ..... saya nih termasuk keturunan beliau.....entah lah......

kunjungan ke keraton KESEPUHAN CIREBON





bulan mei kemaren berkunjung ke cirebon dan mengunjungi beberapa tempat,di antaranya keraton Kesepuhan Cirebon. Tapi karena masih pagi jadi belum bisa masuk ke dalam gedung keraton , jadi hanya berjalan- jalan di area lingkungan keraton Kesepuhan aja.

Minggu, 20 Juni 2010

Perjalanan ke masjid pintu 1000



hari kamis yang mendung coba jalan-jalan ke masjid pintu 1000

Sabtu, 19 Juni 2010

selamat datang di blog baru ku

sudah jadi deh blognya.......tinggal di isi.......